9 Tren Marketing di Indonesia tahun 2019



Jakarta, KlikDirektori.com | Mengawali tahun 2019, berbagai tren bisnis mulai hadir sebagai salah satu antisipasi untuk menghadapi tahun yang diprediksi menantang. Salah satunya tren pemasaran, sebagai salah satu pijakan para marketeer agar bisnis mereka tetap tumbuh signifikan.

Tentu tren akan selalu ada yang baru tiap tahunnya, mengikuti dinamika yang terjadi terutama di Indonesia. Para marketeer atau pemasar dituntut menyesuaikan dengan tren, karena bisa jadi tren sebelumnya tidak berlaku lagi tahun ini.

Menanggapi hal ini, Indonesia Marketing Association (IMA) melihat tren marketing 2019 salah satunya didominasi oleh teknologi. “Tentu saja karena beberapa tahun terakhir faktor teknologi semakin pesat dan tidak terpisahkan dari marketing. Namun tetap jangan melupakan faktor offline, yang justru harus dikombinasikan dengan online,” ujar Presiden IMA De Yong Adrian dalam acara IMA Media Gathering 2019 di Philip Kotler Theatre Class, MarkPlus Main Campus, Selasa (8/1) 2019.



Untuk menghadapi tahun 2019, IMA menyatakan ada sembilan tren marketing yang akan terjadi, berikut tren-tren tersebut:

1. CRM berbasis Artificial Inteligence semakin populer
Peran Kecerdasan Buatan (AI) dalam dunia korporat telah membantu perusahaan mempersonalisasikan keterlibatan mereka dengan pelanggan. Lewat AI, perusahaan dengan jumlah pelanggan sangat besar dapat mengumpulkan dan menyusun data pelanggan mereka. Lebih jauh lagi, AI bisa menganalisis cara meningkatkan pengalaman pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan merek mereka. AI akan terus membantu perusahaan untuk mempersonalisasi keterlibatan mereka, tidak hanya dengan sebagian pelanggan tetapi juga dalam jumlah frekuensi tinggi.

2. Meningkatnya popularitas jaringan OMNI
Langkah raksasa e-commerce untuk mengakuisisi brand ritel offline, merupakan langkah OMNI, yaitu mengkombinasikan marketing secara online dan offline. Hal ini mendorong para peritel offline dan pelaku e-commerce lebih kecil untuk menerapkan hal yang sama. Salah satu strateginya, peritel offline dapat membangun persepsi kuat di sosial media sehingga menghasilkan banyak follower. Dari situ mereka bisa membuat kampanye sesuai karateristik follower sehingga tidak hanya sekedar follow, tetapi juga menjadi anggota aktif. Sehingga dampaknya ketika melakukan penjualan, peritel dapat lebih akurat memperkirakan jumlah pelanggan yang akan datang ke toko mereka.

3. Meningkatnya popularitas intrapreneur
Meskipun persentase perusahaan startup yang sukses sangat kecil, banyak profesional yang terjun membangun start up mereka sendiri. Sayangnya sebagian besar gagal. Rugi tidak hanya startup mereka, perusahaan yang mereka tinggalkan juga kehilangan talenta berkualitas. Untuk menghindari hal tersebut, perusahaan kini mendorong para profesional di tempat kerja mereka menjadi intrapreneur. Para pegawai didorong mengambil risiko lebih besar dengan prize sepadan, mulai dari bonus besar hingga saham kepemilikan di perusahaan.

4. Penggunaan pembayaran digital kian masif
Setelah dirasakan manfaatnya para pengguna e-commerce, pembayaran lewat platform digital kini punya peran baru. Bebererapa institusi atau perusahaan mencoba menggunakannya sebagai jaringan distribusi pinjaman atau kredit mikro. Karena dengan sistem digital, pemberi pinjaman memiliki catatan lebih akurat terkait kebiasaan berbelanja dan tren pengeluaran deditur. Cara ini meminimalisir risiko tersendatnya aliran pembayaran di sektor mikro.

5. Pasar Halal semakin kompetitif
Meningkatnya popularitas gaya hidup halal di Indonesia mendorong semakin ketatnya persaingan di sektor ini. Negara yang bersaing tidak hanya berasal dari negara mayoritas muslim, tetapi juga minoritas. Negara-negara ini mencoba memantapkan posisinya sebagai negara dengan gaya hidup halal di berbagai kategori termasuk menciptakan standar baru. Indonesia bisa menjadi negara tersebut, dengan tidak hanya menjadi pasar tetapi juga menancapkan eksistensinya dengan memproduksi berbagai produk halal.

6. Popularitas produk berdasarkan generasi meningkat
Semakin beratnya brand memihak kepada milenial menimbulkan konsekuensi: ketika brand tidak sanggup bersaing merebut milenial, generasi lain menjadi opsi. Baik itu generasi X, baby boomer, maupun silent generation. Tidak sebatas pada produk yang memang dibutuhkan generasi tersebut seperti pelayanan kesehatan, tetapi juga industri yang ramai di dunia milenial seperti pariwisata. Mereka akan menawarkan paket wisata yang tentu saja berbeda dengan yang ditawarkan kepada milenial.

7. Bisnis dengan efek sosial kian membesar
Konsumen yang selalu terkoneksi dan update kegiatan mereka selama 24 jam sehari biasanya mengambil keputusan bersifat emosional. Kesempatan ini membuat brand mencoba membangun keterikatan dengan konsumen mereka lewat berbagai kegiatan sosial. Aktivitas sosial tersebut memiliki kemungkinan untuk di-share lewat sosial media para konsumen, sehingga keterikatan emosional tersebut bisa mendorong konsumen lain yang tersentuh melakukan hal yang sama, tidak hanya share tetapi juga dalam keputusan pembelian.

8. Penyedia berbagai atraksi wisata kian bertambah
Dulu atraksi turis hanya sebatas alam. Wilayah dengan alam indah atau budaya unik menjadi sasaran turis. Sekarang tidak lagi, karena kehadiran sosial media. Platform ini menunjukan bahwa atraksi buatan manusia pun bisa populer asal banyak di-share di media sosial.
Bahkan area atau bagian alam yang sebelumnya memang tidak diperuntukan menjadi destinasi wisata, berubah menjadi atraksi menarik turis karena media sosial. Fenomena ini membuat pertumbuhan akan destinasi baru semakin banyak, penyedia atraksi meningkat, sehingga turis tidak berkumpul di satu titik wisata saja.

9. Adopsi prinsip Industry 4.0
Sebagai rumah bagi populasi startup di Asia Tenggara, dengan empat dari mereka terdaftar sebagai unicorn, Indonesia mulai mengarah ke prinsip Industry 4.0 pada 2018. Di satu sisi, Indonesia mengikuti jejak negara-negara tetangga. Sementara di sisi lain, Industry 4.0 harus membawa negara dengan kepulauan luas ini menjadi negara berbasis industri. Di pra Industry 4.0, kesulitan terjadi karena aktivitas dan operasional bisnis terkendala luasnya Indonesia yang dibagi banyak laut. Prinsip Industry 4.0 mencoba mengikis hal tersebut dan menyediakan solusi. Dipromosikan pada 2018, penerapan paham Industry 4.0 ini akan diadopsi oleh lima sektor industri yang menyumbangkan sekitar 60% GDP pada 2019. Dalam jangka pendek, Indonesia tidak hanya bergabung dengan negara maju untuk mendigitalisasi konsep business to consumer, tetapi juga mendigitalisasi konsep business to business.

Baca pula: Kumpulan Berita & Info Terkini