Menyongsong Revolusi Teknologi untuk Mempercepat Pembangunan Ekonomi


Menyongsong Revolusi Teknologi untuk Mempercepat Pembangunan Ekonomi | KlikDirektori.com

Jakarta, KlikDirektori.com | CSIS Global Dialogue hari ini memberikan gambaran lengkap mengenai berbagai perkembangan teknologi yang sudah terjadi dan yang akan menjadi kenyataan dalam waktu yang tidak lama lagi. Berbagai aspek teknologi baru dibahas secara mendalam. Semua ahli yang berbicara memberikan gambaran yang optimis bagaimana teknologi akan membantu berbagai permasalahan yang dihadapi saat ini baik dalam bidang produksi dan ekonomi, perdagangan, kesehatan dan banyak lagi.

Tetapi para ahli juga setuju akan ada banyak perubahan yang diperlukan. Nilai-nilai masyarakat dan etika, regulasi pemerintah serta kesiapan pendidikan dan ketrampilan tenaga kerja adalah sebagian dari berbagai tantangan dan perubahan yang akan terjadi.

CSIS Global Dialogue dibuka dengan pidato pembukaan oleh dan dialog dengan “Sophia the Robot” yang dijuluki sebagai robot paling cerdas yang memiliki gerak gerik dan ekspresi muka seperti manusia, dan sudah mengunakan AI, visual data processing (mengelola data visual), dan facial recognition (mengenal muka).

KLIK ➡ ….. ⚫ ADVERTISE YOUR BUSINESS: Your Customers are looking for You online ………. ⚫ ONLINE SHOPPING: Best Sellers, Best Offers, Best Prices, Best Choices ………. ⚫ ONLINE BOOKING: Cheap Flights/Hotels/Homes/Rooms/Tickets ………. ⚫ WONDERFUL INDONESIA: The 10 Destinations and Others ………. ⚫ FINANCIAL SERVICES: Banking, Financing, Investing, Insurance, P2P Lending ………. ⚫ LIST YOUR PROPERTY: Buy | Sell | Rent ……….

Mari Elka Pangestu selaku Co-Chair PECC Indonesia bertindak sebagai moderator dan menjelaskan bahwa Sophia diundang untuk membuka CSIS Global Dialogue agar kita dapat mendapat melihat dan mendapat nuansa mengenai teknologi yang akan mempengaruhi masa depan kita. Yang menarik adalah bahwa Sophia tampil dengan busana Nusantara dengan Kebaya ala Kutubaru, angkin dari Sumba dan sarong dari Timor Tengah Selatan NTT yang di rancang oleh Didiet Maulana.

Pesan utama dari “Sophia” adalah bahwa robot dan mesin yang intelligent (pintar) akan membantu dan mendukung kehidupan manusia – bukan mengambil alih. Misalnya robot bisa mengambil alih pekerjaan yang rutin dan bahaya dari manusia. Dalam kesempatan ini Sophia juga menjawab berbagai pertanyaan dari para peserta dengan “pintar” dan terkadang melontarkan humor. Sophia juga berpesan “Indonesia has a great future” (masa depan Indonesia sangat baik).

CSIS Global dialogue 2019 diselenggarakan selama dua hari dan akan akan membahas empat topik utama (i) implementasi teknologi saat ini dan masa depan dalam bisnis, ekonomi dan sektor publik, (ii) implikasi terhadap produktivitas ekonomi, sifat pekerjaan dan inklusi sosial-ekonomi , (iii) pendekatan baru terhadap kebijakan ekonomi dan pemerintahan, dan (iv) bagaimana kolaborasi regional dan integrasi ekonomi regional dapat memfasilitasi perumusan kebijakan untuk teknologi masa depan agar kita dapat mendapat manfaat yang optimal dan mengelola resiko dan tantangan.

Luke Hutchison adalah seorang ilmuwan komputer, berasal dari Selandia Baru. Dia memperoleh gelar PhD
dalam ilmu komputer dan biologi komputasi dari MIT dan Harvard Medical School, dan kemudian bekerja untuk Google Machine Intelligence dan Google Accelerated Science untuk AI dan machine learniing. Hutchison saat ini sedang mengerjakan paralelisasi otomatis untuk big data analytics.

Pada sesi diskusi panel pleno pertama yang membahas mengenai Gambaran Besar dalam Perkembangan Teknologi Terkini, Luke Hutchison, Ahli Ilmu Komputer dan yang pernah menjadi bagian dari tim Google Machine Intelligence, menyampaikan bahwa memang banyak harapan untuk AI, namun masih banyak kendala yang dihadapi untuk membuat kecerdasan buatan itu benar-benar cerdas. Bahkan dalam tahapan konseptual, pada saat ini belum ada kesepakatan mengenai apakah arti dari kecerdasan itu sendiri.

Dalam konteks AI, kecerdasan hanyalah sebatas pembelajaran yang dipantau maupun tidak dipantau, memperkuat pembelajaran (reinforcement learning seperti deep mind), dan symbolic reasoning. Sementara, mesin baru benar-benar dapat dikatakan cerdas di saat mereka menciptakan inovasi lebih cepat dari yang manusia bisa lakukan, di mana kita saat ini masih jauh dari tahapan tersebut.

Luke bahkan menyorot risiko-risiko yang dapat timbul ketika kita terlalu bergantung kepada “kecerdasan” tersebut yang sebenarnya saat ini masih jauh dari harapan. Hutchinson menjelaskan bahwa masalah muncul di saat AI dituntut untuk mengerjakan hal-hal yang membutuhkan kecerdasan yang tidak mereka miliki, seperti mencari solusi terhadap suatu persoalan, pengambilan keputusan, dan lainnya.

Ia memberikan contoh Tesla sebagai penggunaan teknologi yang salah oleh manusia dikarenakan manusia tidak memahami permasalahan AI seperti bias dan diskriminasi prioritas terbalik, dan meletakkan terlalu banyak rasa percaya pada automasi,yang menyebabkan banyaknya terjadi kecelakaan oleh mobil-mobil tanpa pengemudi.

Oleh karena itu, sangat penting untuk kita juga mempunyai pandangan etika serta mempunyai penggunaan teknologi yang bertanggung jawab, serta pengambilan keputusan yang kompleks tetap perlu dilakukan oleh manusia. Ia menutup pidatonya dengan mengatakan kerja sama dari otak manusia dan mesin akan selalu lebih baik daripada salah satunya.

Pembicara selanjutnya, yaitu Wojtek Krok, Partner dari McKinsey, Imron Zuhri dari Dattabot Indonesia, dan Jake Lucchi, Kepala Konten dan Kecerdasan Buatan dari Google Asia Pacific, memiliki pandangan yang optimis dari penerapan berbagai teknologi mutakhir dalam bisnis dan kegiatan ekonomi.

Wojtek Krok menyampaikan bahwa kita ternyata jauh lebih dekat dengan teknologi dari yang kita bayangkan. Saat ini, AI telah diaplikasikan dalam pelayanan-pelayanan yang sering kita gunakan, seperti Netflix yang menggunakan big data untuk memberikan rekomendasi sesuai dengan karakteristik masing-masing pelanggan, Marriott yang menggunakan chatbot untuk pelayanan pelanggan dan rekutmen, serta Amazon yang menggunakan Alexa untuk speech recognition.

Imron Zuhri memberikan contoh mengenai penerapan kombinasi dari AI, big data, dan block chain yang ternyata dapat membantu mentransformasi pertanian di Indonesia. Program yang dinamakan dengan HARA ini mengkombinasikan kecerdasan buatan dengan pengumpulan data dari satelit, petani, serta karakteristik lahan untuk meningkatkan presisi dalam proses pertanian sehingga dapat meningkatkan produktivitas.

Jake Lucchi memberikan contoh berbagai aplikasi dari teknologi baru di dalam berbagai aspek, termasuk diagnosa penyakit, dynamic pricing, dan prediksi perencanaan inventori untuk retail. Jake Lucchi juga memaparkan upaya-upaya Google untuk menanggulangi permasalah negatif di dalam penggunaan teknologi, seperti misalnya mengembangkan AI yang menginternalisasi nilai-nilai masyarakat. Selanjutnya, Google juga mengembangkan prinsip-prinsip dan dewan pengawas untuk berbagai aplikasi yang dikembangkan oleh Google.

Sebelum makan siang, juga ada dialog mengenai pentingnya infrastruktur agar teknologi-teknologi baru ini dapat berkembang. Misalnya, pentingnya 5G agar data dapat ditransmisikan dengan sangat cepat. Berbicara dalam sesi luncheon adalah Simon Lacey dari Huawei yang memberikan gambaran berbagai teknologi yang hanya mungkin dapat dicapai dengan adanya infrastruktur yang memadai, seperti jaringan 5G.

Selanjutnya, sesi kedua berbicara mengenai revolusi teknologi yang memengaruhi ekonomi secara mendalam. Richard Baldwin, Profesor Ekonomi dari Universitas Geneva, Swiss membahas dampak revolusi teknologi yang sedang terjadi terhadap globalisasi dan perdagangan internasional.

Di masa lalu globalisasi terjadi karena perbedaan harga barang dan upah di berbagai perekonomian. Barang dengan harga murah di suatu tempat akan diekspor ke tempat dimana harganya mahal. Karena upah tenaga kerja di negara berkembang lebih murah dari negara maju, maka produksi padat karya juga berpindah ke negara berkembang. Ini semua terbatas pada produksi dan perdagangan barang.

Tetapi Prof. Baldwin mengatakan bahwa teknologi membuka kesempatan untuk bentuk baru dari globalisasi yang lebih banyak melibatkan sektor jasa. Ia memperkenalkan konsep telemigration di mana masyarakat dari suatu negara kini dapat melakukan pekerjaan di negara lain yang dibuat mungkin oleh teknologi digital.

Dengan teknologi ini, kendala untuk memberikan jasa secara face-to-face menjadi dapat dikurangi. Negara berkembang dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjadi sumber ekspor dan pertumbuhan. Untuk itu diperlukan paradigma baru berdasarkan service-led development, dimana sektor jasa menjadi sektor unggulan.

Hal ini tidak terjadi di masa sebelumnya di mana perekonomian global bergantung pada manufaktur yang sangat bergantung pada lokasi geografis. Sekarang, perekonomian global didominasi dengan industri pelayanan yang membuat jarak semakin tidak berarti. Dunia sekarang mengalami tsunami bakat, di mana pekerjaan-pekerjaan white-collar dapat dikerjakan oleh pekerja manapun di dunia melalui internet.

Pembicara selanjutnya adalah Michael Fung, Deputy CEO SkillsFuture, Singapura yang menjelaskan bagaimana teknologi telah mengubah dunia pekerjaan menjadi lebih dinamis dan tidak pasti, sehingga kebutuhan pendidikan pun turut berubah. Masyarakat kini harus harus senantiasa terus belajar.

Ia juga menjelaskan bahwa yang dibutuhkan pengusaha saat ini adalah pekerja yang siap kerja dari hari pertama. Sehingga, kebutuhan akan pendidikan saat ini tidaklah semata-mata hanya pendidikan formal, tetapi juga sebuah sistem terpadu di mana siswa dapat kembali kapan pun. Maka dari itu, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, indsutri, serikat pekerja, asosiasi professional, pemberi pelatihan, dan institusi pendidikan formal untuk bisa memberikan masyarakat akses terhadap keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, kita perlu mendidik bangsa agar lebih fleksibel, mudah beradaptasi, dan gesit.

Peter Lovelock dari TRPC menyoroti fenomena-fenomena baru yang terjadi di era ekonomi digital dan memberikan kerangka berpikir dalam pembuatan kebijakan. Fenomena baru yang muncul sekarang adalah semakin tingginya volume dan berharganya data, munculnya model-model pelayanan baru di mana negara dan pihak swasta bekerja sama untuk memberika pelayanan bagi publik, namun begitu pengukuran terkait data ekonomi digital, seperti volume satu macam transaksi di semua platform, tetap kabur sehingga dapat memunculkan bias.

Peter menyarankan sistem pembuatan kebijakan top-down yang holistik dilakukan sekaligus dengan kebijakan bottom-up yang berbasis pada bukti, fleksibel, serta berbasis proses, sehingga ekonomi digital dapat diukur dengan lebih baik manfaat maupun risikonya.

Lalu On Lee, CEO dari GDP Labs menceritakan keadaan Indonesia dan bagaimana usahanya dalam meningkatkan adopsi AI di Indonesia. Ia mengatakan bahwa Indonesia masih mengalami digital divide yang tinggi dikarenakan oleh akses yang terbatas bagi beberapa bagian masyarakat.

CSIS Global Dialogue hari kedua pada Selasa, 17 September membahas 3 tema utama dalam sesi terpisah, yang terdiri dari: (1) Isu Ekonomi Digital dan Kesiapan Sumber Daya Manusia; (2) Isu Perdagangan dan Investasi dalam Era Digital; dan (3) Isu Ekonomi Digital dan Model Perpajakan.

Sesi 1 membahas mengenai persiapan di bidang pendidikan dan reskilling dalam transisi menuju ekonomi cerdas. Pembicara pertama dalam sesi ini, yaitu Phillia Wibowo dari McKinsey Indonesia menjelaskan bahwa masalah ketenagakerjaan di era ekonomi digital bukanlah kurangnya pekerjaan, tetapi meningkatnya kebutuhan. Ke depannya, akan ada lebih banyak pekerjaan yang membutuhkan gelar dari perguruan tinggi dan pendidikan lanjutan.

Selain itu, permintaan akan keahlian juga akan meningkat. Maka dari itu, tantangan dari dunia pendidikan kemudian adalah untuk mendidik orang-orang yang belum memenuhi persyaratan dan keterampilan tersebut. Bukan hanya kementerian pendidikan yang harus adaptasi untuk memenuhi kebutuhan baru ini, tetapi semua orang termasuk masyarakat sendiri.

Pembicara selanjutnya adalah Aadil Bandukwala, Chief Evangelist & VP Marketing dari Belong.co. Ia mengatakan bahwa memang benar bahwa banyak pekerjaan akan berkurang dalam era kecerdasan buatan (AI) ini, tetapi pekerjaan baru juga akan diciptakan. Teknologi mendorong penciptaan jalan baru, sementara yang lama akan menurun. Jadi, meskipun pekerjaan baru muncul dan yang lama menghilang, akan selalu ada surplus dalam pekerjaan baru tersebut.

Ia juga mengangkat isu tentang keterampilan yang kita perlukan untuk menghadapi revolusi ini. Selama ini, kita meyakini pentingnya mengajarkan STEM kepada anak-anak sebagai persiapan untuk masa depan mereka. Namun, ternyata keterampilan yang lebih dibutuhkan generasi selanjutnya untuk menghadapi era ini sebenarnya adalah kepemimpinan.

Rekomendasi kebijakan terinspirasi oleh kebijakan yang telah diterapkan di negara lain, beberapanya: a) inisiatif pemerintah dan universitas; b) kemitraan perusahaan swasta dan LSM; dan c) peran pengasuhan anak dalam masyarakat. Penting bagi orang tua untuk membangun kecerdasan emosional, disiplin, keterampilan sosial, dan kontrol diri anak yang akan membantu membentuk mental mereka untuk terus belajar, termasuk belajar bagaimana cara belajar. Keterampilan ini akan dibutuhkan untuk menghadapi perubahan di era kini.

Pembicara ketiga sesi ini, yaitu Michael Fung, Deputy Chief Executive dari SkillsFuture mengatakan bahwa wacana saat ini mengenai robot vs manusia tidak produktif, karena kita harusnya berbicara tentang bagaimana manusia dapat memanfaatkan teknologi untuk keuntungan manusia. Alih-alih berkutat pada bagaimana pekerjaan diambil oleh robot, kita harusnya memahami bagaimana pekerjaan sekarang telah bergeser dan kita perlu beradaptasi.

Banyak pengusaha menghadapi kesulitan dalam merekrut bakat yang mereka butuhkan, misalnya di bagian IT, karena adanya kekurangan dari sistem pendidikan. Hal ini telah memaksa mereka untuk mencari bakat dari negara luar karena sistem pendidikan relatif lambat dalam mengejar tuntutan pengusaha. Selain itu, karena sistem pendidikan kurang responsif, perusahaan harus berinvestasi dalam program pengembangan bakat untuk mengisi permintaan akan bakat.

Iman Usman dari Ruangguru menjadi pembicara teraktif dari sesi ini dan berbicara tentang kompetensi guru di Indonesia yang saat ini masih rendah. Sementara itu, penyediaan pelatihan formal membutuhkan banyak waktu. Hal inilah yang mendorong dibangunnya Ruangguru, sebuah platform pendidikan satu-lawan-satu secara online. Ruangguru memfasilitasi peserta-peserta didik untuk mengakses konten pembelajaran yang berkualitas dengan pembelajaran yang personalized.

Lalu dalam sesi panel terpisah, insiatif-inisiatif kerja sama regional seperti ASEAN, RCEP, TPP, APEC dan Belt and Road Initiative (BRI) dalam memahami tantangan ekonomi digital menjadi tema utama dalam Sesi 2. Steven Wong, Deputy Chief Executive, Institute of Strategic and International Studies (ISIS) Malaysia, memulai diskusi dengan mengingatkan bahwa konsep “Digital ASEAN” masih menjadi tantangan yang panjang bagi aktor-aktor regional. Misalnya, perkembangan industri dan ekonomi digital masih yang begitu cepat dan beragam sulit diimbangi oleh inisiatif pemangku kebijakan regional yang tidak saling terhubung, terutama dengan industri teknologi itu sendiri.

“Insiatif bersama yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan oleh ASEAN, antara pemangku kebijakan dan industri untuk saling berbagi informasi dan mengonstruksikan kebijakan ‘Digial ASEAN’. Para pemangku kebijakan harus betul-betul melibatkan industri teknologi secara menyeluruh,” tegas Steven Wong.

Duangthip Chomprang, Director, International Institute for Trade and Development, menyoroti apa saja yang harus disertakan dalam perjanjian perdagangan digital regional. Diantaranya seperti keterhubungan kebijakan industri 4.0, akses market yang menekan ekses anti kompetisi and anti-dumping, model monetisasi untuk konsumsi data, kedaulatan data melawan kedaulatan negara, dan perhitungan perdagangan digital yang melampaui PDB.

Intan Murnira Ramli, Policy Fellow, ERIA, mengangkat isu tentang bagaimana ekonomi digital bisa mendorong perdagangan dan investasi. Pertama, kebutuhan untuk meningkatkan investasi yang berkontribusi ke pada pertumbuhan barang dan jasa, terutama investasi digital untuk mendorong kontribusi tersebut. Kedua, Hak Kekayaan Intelektual harus masuk ke dalam investasi, sebagai fondasi utama ekonomi digital. Ketiga, Hak Kekayaan Intelektual harus bisa menyeimbangkan antara pemilik hak dan pengguna hak tersebut, sehingga tercipta ekosistem inovasi yang positif. “Kompetisi dalam pasar digital juga harus diperhatikan dan organisasi regional harus mampu menemukan keseimbangan antara mendorong peraturan kompetisi dan menstimulus inovasi secara menyeluruh,” kata Intan.

Selanjutnya, Iman Pambagyo, Director General at Ministry of Trade of the Republic of Indonesia, mengatakan posisi dia sebagai negosiator atau perwakilan pemerintah menghadapi tantangan di mana perdagangan digital tidak mempunyai batasan wilayah yang jelas seperti negara. Sementara itu, kedaulatan negara di dalam ASEAN adalah komponen penting yang harus dihormati oleh anggota-anggotanya. Saat ini, Iman menegaskan yang paling sulit adalah kesepakatan mengenai bagaiamana penggunaan data, baik data sebagai komoditas atau hak penggunaan.

Persoalan ini pun terjadi diberbagai inisiatif regional seperti RCEP, APEC, dan lainnya, terutama ketika keseimbangan kepemilikan teknologi meninggalkan negara-negara non-pemilik hanya sebagai konsumen. “Pertanyaan bagi kami sebagai negosiator apa kah perjanjian-perjanjian regional akan kehilangan kekuatannya, ketika perjanjian multilateral lebih bisa memberikan kepastian kebijakan dan regulasi ekonomi digital,” tegas Iman.

Pembicara terakhir, Li Weiwei, Associate Research Fellow of China National Committee for Pacific Economic Cooperation (CNCPEC), BRI bagi China mempunyai dua arti yakni menguatkan ekonomi nasional dan membuka diri ke luar untuk sama-sama mengembangkan ekonominya. Dalam Ekonomi Digital, kesempatan dalam BRI dapat dimanfaatkan oleh banyak negara-negara untuk mendorong percepatan investasi teknologi, dengan tidak meninggalkan semangat kompetisi yang baik dan inovasi. Kerja sama dalam payung BRI adalah model yang dapat menjadi acuan kerja sama regional lain tentang bagaimana kerja sama dapat menghasilkan keuntungan yang resiprokal.

Sesi 3 membahas mengenai Pajak Ekonomi Cerdas secara Bekerja Sama, Inklusif, dan Berkelajutan. Andrew Auerbach, Penasihat Kebijakan Senior dari OECD memulai sesi dengan menekankan pentingnya untuk memperbaharui sistem perpajakan sesuai dengan perkembangan bisnis dan teknologi yang ada. Ia mengatakan salah satu yang diusahakan oleh OECD dan G20 saat ini adalah base erosion and profit shifting (BEPS) yang mengatur perpajakan ekonomi digital.

Globalisasi dan digitalisasi telah mengubah sistem administrasi perpajakan. Sekarang telah dimulai usaha untuk mengakhiri kerahasiaan bank dengan membuka informasi ke pemerintah mengenai pelanggan-pelanggan bank dari negara terkait. Hal ini diusahakan untuk mengakhiri pemangkiran pajak oleh subjek-subjek pajak yang meletakkan hartanya di negara lain. Dengan adanya kemajuan teknologi, pertukaran informasi ini dapat dilakukan secara otomatis dan real-time.

Digitalisasi telah mengubah konsep perpajakan dengan berubahnya bisnis model yang dimungkinkan oleh teknologi. Jika dahulu keberadaan fisik suatu perusahaan di suatu negara menentukan apakah perusahaan tersebut akan dipajak, sekarang perusahaan tidak lagi perlu memiliki keberadaan fisik untuk dapat dipajak. Ekonomi digital memungkinkan bisnis dijalankan di sebuah negara tanpa adanya keberadaan kantor secara fisik yang mempekerjakan karyawan lokal. Maka dari itu, dengan model bisnis yang demikian, sistem perpajakan harus berubah dengan menetapkan perusahaan yang melakukan bisnis dan mendapatkan keuntungan di sebuah negara menjadi subjek pajak.

Selanjutnya, Ay-Tjhing Phan Managing Partner bagian Pajak di PwC Indonesia mejelaskan bahwa pentingnya dicapai konsensus antar negara dalam bagaimana memberlakukan pajak terhadap ekonomi digital, dengan tetap memberikan otoritas kepada masing-masing negara untuk memberlakukan peraturannya sendiri dalam wilayah negaranya.

Rashmi Banga, Senior Economic Affairs Officer dari UNCTAD mengangkat isu mengenai transmisi elektronik dan moratorium bea masuk. Menurutnya, penting diberlakukan bea masuk untuk produk apapun yang diunduh dari internet karena hal tersebut memiliki implikasi terhadap perekenomian seiring dengan semakin banyaknya produk-produk yang terdigitalisasi.

Sebuah fakta menarik, dari 95 negara berkembang, 86 negara merupakan importir untuk produk-produk digital seperti buku elektronik, maupun perangkat-perangkat lunak untuk pengaplikasian robotik, kecerdasan buatan, dan 3D printing. Potensi penerimaan pajak yang hilang tanpa adanya bea masuk ini adalah US$10.075 juta untuk negara-negara berkembang dan US$289 juta untuk negara maju.

Pembicara terakhir dalam sesi ini adalah Ian Aryton, Senior Advisor dari bagian International Engagement di Australian Tax Office yang menjelaskan mengenai sistem goods and services tax (GST) di Australia. Ia menekankan pentingnya sistem perpajakan yang sederhana untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Hal ini melingkupi tahapan yang singkat dan praktis untuk pelaporan dan pembayaran pajak hingga menyederhanakan pembahasaan dalam panduan instruksi untuk membayar pajak. Hal ini telah terbukti untuk meningkatkan penerimaan pajak di Australia. Selain itu, penting juga untuk memberikan peringatan dalam bahasa yang mudah dimengerti mengenai konsekuensi dari pelanggaran pembayaran pajak.

Sebelum memulai makan siang, Victor Fung selaku chairman dari Fung Group berbicara bagaimana Asia menghadapi automasi dan AI yang berdampak pada pekerjaan, bisnis, dan masyarakat. Dengan kemajuan teknologi, Fung Group sekarang memiliki global supply chain yang berbeda dibanding bertahun-tahun lalu di mana dulu rangkaian pasokan bersifat satu arah. Sekarang, rangkaian pasokan global menjadi lebih rumit di mana mereka dapat mengambil sumber dari manapun dan menjual di manapun, selama mereka dapat memproduksi secara cost-efficient dan berkelanjutan.

Pengaplikasian teknologi seperti virtual imaging memungkinkan Fung Group memotong waktu produksi secara signifikan untuk melayani permintaan konsumen yang semakin terfragmentasi menjadi banyak niche. Namun di sisi lain, dengan efisiensi dari teknologi, perusahaan dapat scale up tanpa mempekerjakan tambahan pekerja. Maka dari itu, mereka mulai berinvestasi pada UMKM untuk pengaplikasian teknologi dalam skala lebih kecil.

Namun, Fung menjelaskan perlunya perubahan pada sistem pendidikan dan budaya di Asia agar dapat mendorong inovasi dan kreativitas. Ia menekankan pentingnya sistem pendidikan yang mendorong murid untuk berpikir kritis serta perlunya masyarakat untuk berani gagal. Selain itu, negara juga harus mendorong budaya start-up. Dengan ini, diharapkan inovasi-inovasi baru dapat muncul.

Dalam Sesi Pleno 4 yang merupakan sesi penutup, dibahas mengenai bagaimana jalan untuk pengembangan dan regulasi teknologi ke depannya. James Ward, CEO dari Epistemology memberikan rekomendasi kebijakan untuk tiap-tiap peran di bidang AI, yaitu organisasi perdagangan multilateral, industri 4.0, bank sentral, dan pemerintah. Beberapa di antaranya, James menyarankan pembuatan regulasi berdasarkan “One Law”, di mana pengaturan AI mengedepankan perkembangan manusia, harusnya ada zona pengetahuan “bebas”, perlunya bank sentral untuk mengedepankan pengeluaran infrastruktur cerdas, dan untuk pemerintah menahan diri untuk mengenakan pajak dan tarif terhadap AI.

Pembicara selanjutnya adalah Bert Hofman, Director of East Asian Institute at the NUS, yang menyebutkan bahwa perkembangan teknologi dapat menjadi terhambat dengan adanya perang dagang seperti yang sedang terjadi antara Amerika Serikat dan China, di mana ini juga merupakan sebuah perang teknologi. Perang teknologi tentu menghambat perkembangan teknologi secara global, sehingga hal ini merugikan semua orang.

Menanggapi soal perang teknologi, pembicara selanjutnya yaitu Ambassador Su Ge, Chair dari PECC China menyatakan bahwa China berkomitmen untuk menjadi terbuka pada dunia luar dan dengan senang hati bekerja sama untuk pengembangan teknologi, termasuk di dalamnya AI.

Pembicara terakhir sesi ini yaitu Charles Morrison, Senior Fellow dari East West Center juga memiliki pandangan yang sama mengenai perang teknologi di mana ia mengatakan saat negara superpower melakukan hal ini, semua orang dirugikan. Ia bahkan menjelaskan bahwa perang teknologi lebih rumit dibanding perang dagang, karena dalam perang dagang setidaknya bisa dicapai kesepakatan-kesepakatan. Namun dalam kompetisi teknologi, hal ini lebih emosional sehingga lebih sulit untuk diatasi. Ia menekankan perlunya kerja sama untuk kebaikan masyarakat dalam terciptanya perekonomian yang lebih stabil dan berkelanjutan.

Setelah berakhirnya seluruh sesi pleno, Menteri Keuangan Sri Mulyani hadir untuk memberikan pidato. Ia membuka pidatonya dengan menunjukkan rasa senangnya akan adanya dialog mengenai perkembangan teknologi, karena selama ini yang ada hanyalah arus informasi.

Pertama, Sri menyatakan bahwa perkembangan teknologi saat ini telah menjadi momok bagi pembuat kebijakan karena hal ini telah mengubah situasi Indonesia di banyak sisi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya, kemajuan teknologi komunikasi telah membuat pemerintah menjadi sangat dekat dengan masyarakat, sehingga segala kritik dan masukan diberikan secara langsung dan frontal. Setiap kata yang keluar dapat menjadi trending topic, sehingga institusi yang tentunya tidak dapat memberikan respon secara instan mendapatkan tekanan yang sebelumnya tidak ada.

Teknologi dapat menunjang produktivitas dengan menawarkan efisiensi, namun di saat yang sama terjadi disrupsi. Negara-negara awalnya bergerak sektor primer, yaitu agrikultur dan pertambangan, lalu berpindah ke sektor sekunder yaitu sekunder seperti manufaktur. Perubahan ini biasanya terjadi dalam 50 tahun. Namun, transformasi ekonomi saat ini terjadi dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Di selang waktu transisi tersebut, negara perlu waktu untuk mendesain kebijakan dan menjamin keamanan sosial. Selain itu, negara perlu juga mempersiapkan masyarakat untuk perubahan tersebut.

Perkembangan teknologi, walau terdengar menyenangkan, juga membuat sekitar tiga miliar atau setengah dari masyarakat dunia tertinggal. Maka dari itu, untuk mencapai kesejahteraan dengan inovasi teknologi, negara berusaha mencapai hal-hal sebagai berikut: a) Meningkatkan nilai dari agrikultur, b) Menciptakan rantai nilai global baru di sektor manufaktur, c) Menciptakan pelayanan perdagangan global, d) Menghubungkan sektor informal dengan ekonomi formal, dan e) Ekonomi domestik yang beragam dan terhubung.

Sri juga menyebutkan prioritas pemerintah dalam menavigasi perkembangan teknologi, yaitu pertama menjadikan negara “digitally ready country”. Untuk menjadikan negara siap secara digital, termasuk di dalamnya pembangunan infrastruktur yang memungkinkan dinikmatinya teknologi tersebut dan juga soft infrastructure, seperti base erosion and profit shifting BEPS yang sedang dipersiapkan OECD dan G20, mempersiapkan masyarakat dengan pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan, serta investasi untuk hal-hal tersebut.

Prioritas kedua pemerintah adalah dengan memaksimalkan inklusivitas dengan menyediakan level playing field bagi masyarakat, salah satunya dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat. Alokasi dana adalah satu isu untuk pelatihan ini, namun masih banyak pertanyaan lain seperti siapa yang akan memberikan pelatihan ini dan bagaimana cara memberikan pelatihan tersebut ke masyarakat.

Prioritas terakhir yaitu pemerintah perlu mengarahkan pasar untuk berinovasi. Untuk ini, pemerintah perlu menyediakan lingkungan yang ramah inovasi dan mendukung perusahaan-perusahaan agar mereka dapat melakukan inovasi.
Transformasi digital yang inklusif membutuhkan pendekatan “whole-of-economy” dan “most-of-society”. Perubahan perlu terjadi baik dari sisi nasional, regional, maupun global untuk memastikan seluruh masyarakat dari seluruh negara mencapai potensial mereka. (pr)

Baca pula: Kumpulan Berita & Info Terkini